Teringat akan sebuah insiden, dimana seorang senior mengungkapkan pemikirannya ini kepada kami,sang junior. Entah apa yg ada di benaknya saat itu. Kepuasan akan ilmu yg tinggi kah, berkata pada dirinya “saya adalah mujtahid” lah, atau entah pemikiran dangkal lainnya.
Mengapa saya mengatakan ini adalah pemikiran yg dangkal?Bagaimana tidak, menjadi seorang mujtahid itu ga semudah menjadi ketua RT. Butuh begitu banyak syarat yg bukan sembarang orang kompeten di dalamnya. Bahkan, mungkin di zaman ini seorang “mujtahid mutlak”pun sudah tenggelam dalam kemerlap zaman.
Coba saja kita tanyakan pada mereka yang mengaku-ngaku sebagai mujtahid yg tidak membutuhkan adanya madzhab dalam ibadah mereka, hanya butuh quran dan hadits saja, “katanya”.
*Tahu bahasa arab?”ya sekedar akhi,ukhti,syukron afwan aja sih bisa” anak bayi baru lahir juga ibunya tahu….
*tahu tafsir alquran?”ya kan udah ada terjemahannya, kenapa repot-repot?”
*hafal hadits, stidaknya hadits arbain? “hhmm..kalo arba’ah (4) aja sih hafal”
*faham ilmu nahwu sharaf, bayan, maani, badi’, ushulu fiqih, ushulu hadits? “ilmu apaan itu?Kalo mentoring aja mah bisa”
Itulah jawaban-jawaban mereka yang “mengaku” tidak butuh madzhab dan cukup ambil hukum dari alquran dan hadits saja. Coba fikirkan kawan, jangankan membuat hukum, untuk mengartikan alquran aja masih pake quran terjemah. Disuruh baca kitab arab gundul eh dikata tulisan sansekerta. Mana yg katanya mujtahid? Ke laut aja mending sanah…
Baru ditanya hal-hal dasar seperti itu, belum lagi ketika ditanyakan ayat ini secara bil ‘ibaroh, bil ‘isyarat, bid dalalat, bil iltizam memiliki makna apa dan hukum apa yg bisa dikeluarkan dari makna-makna itu (nah loh pusing kan…). Ini ushulu fiqih, ilmu dasar untuk yg namanya ijtihad.
Lalu apa saja syarat-syarat untuk ijtihad??
– ihya akan ilmu alquran dan makna beserta hukum yg akan keluar dri makna itu (mksud ihya disini adalah bukan sekedar hafal, namun bila ditanyakan sebuah masalah, maka langsung tahu ayat mana saja yg membahasnya)
– ihya akan ilmu hadits, ya mirip seperti alquran juga, namun disini ditambah dengan hafal sanad-sanad perawi hadits tersebut.
-mengerti ilmu qiyas beserta tata cara dan syarat-syaratnya
-faham akan ilmu-ilmu alat yg telah saya sebutkan tadi.
-memiliki ilmu ladunni
Lalu pertanyaannya, adakah yg berkompeten untuk itu semua?Jawabannya untuk saat ini tidak. Lalu bagaimana dengan semisal MUI?Bangun akh, mereka siapa?Mereka hanyalah pemberi fatwa, bukan pemberi ijtihad. Jangan sampai tertukar antara ijtihad dan fatwa.
Untuk sekedar tahu saja, dalam ilmu fiqih, ada beberapa tingkatan di dalamnya.
1.mujtahid mutlak. Para imam madzhablah yg masuk pada kategori ini. Semisal imam abu hanifah, imam syafii, maliki, hambali, dan imam madzhab lainnya. Jumlah madzhab ada 52, namun seiring perkembangan zaman yg tersisa hanyalah 4.
2.mujtahid fil madzhab. Semisal imam nawawi, imam muhammad, imam abu yusuf
3.ashabu tarjih. Yakni mereka tidak bisa melakukan ijtihad, hanya saja memilih dari pendapat mujtahid fil madzhab.
4.ashabu tamyiz. Mereka yg hanya bisa memperjelas pilihan dari ashabu tarjih.
5.ashabul fatwa
Merekalah para mufti yg hanya bisa memberikan fatwa sesuai perkembangan zaman tanpa merubah inti dari hasil ijtihad itu.
6.ashabu taklid
Nah, inilah kita yang paling lemah. Yang hanya bisa “ikut-ikutan” apa yg sudah terangkum dalam madzhab kita. Namun tetap aja, kita harus mencari tahu kebenaran akan hukum itu, jadi ga sekedar taklid. Ataupun boleh juga hanya taklid saja, asalkan yakin kebenaran apa yg ia ikuti itu. Karena bukankah tidak mungkin bagi smua orang untuk mendalami itu semua?Dunia ini ada hitam ada putih, tidak mungkin hitam semua atau putih semua. Begitu pula masalah ini, tidak mungkin semuanya mufti ataupun semuanya mukallid.
Yaa, seperti itulah. Entah setelah membaca penjelasan saya ini masih adakah yg berani mengatakan “saya adalah mujtahid”. Mujtahid dari hongkong…!!